Kunci Keberhasilan Agribisnis Perkebunan

Jauh sebelum saudagar-saudagar Eropa datang di Indonesia, usaha perkebunan di dalam negeri sudah berkembang. Ketika itu, perdagangan rempah-rempah sudah memasuki pasar dunia melalui peran saudagar Cina dan Indonesia sendiri.

Lalu, dalam zaman penjajahan, usaha perkebunan ini terus berkembang bahkan menjadi salah satu andalan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Begitu pula pada masa pendudukan Jepang: usaha ini tetap menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah negeri Sakura.

Sebelum kemerdekaan, peta usaha perkebunan di Indonesia ini dikuasai perusahaan milik pemerintah Belanda, swasta Barat selain Belanda, serta swasta warga Cina dan Arab. Di awal kemerdekaan, perkebunan milik pemerintah Belanda beralih menjadi milik pemerintah Indonesia. Lalu pada 1957, perkebunan milik swasta dinasionalisasi.

Namun demikian, dalam perjalanan panjang itu, perkebunan rakyat lebih cepat berkembang ketimbang perkebunan besar. Meski fakta lapangan menunjukkan bahwa perkebunan rakyat tumbuh dan berkembang dalam kongkungan keterbatasan modal, lahan, maupun teknologi, semangat dan motivasi mereka turut menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil utama komoditas perkebunan dunia.

Indonesia merupakan negara yang memiliki areal perkebunan terluas di dunia -- 14 juta hektar lebih. Dalam konteks itu, sekitar 11,2 juta hektar (80 persen) merupakan perkebunan rakyat. Selebihnya adalah perkebunan besar milik swasta (PBS) dan perkebunan besar negara (PBN). Dengan itu, Indonesia tampil sebagai pemasok utama sejumlah komoditas di pasar dunia: karet (nomor 2), minyak sawit mentah alias CPO (nomor 2), kelapa (nomor 2), kopi (nomor 3), lada (nomor 1), teh (nomor 5), juga rempah-rempah (nomor 1).

***

Sejak Pelita I hingga saat ini, program yang digulirkan pemerintah melalui pola swadaya, perusahaan inti rakyat (PIR), unit pengembangan perkebunan (UPP), dan perkebunan besar (PB) memberi output positif terhadap pertumbuhan areal maupun produksi perkebunan ini. Karena itu, swasembada minyak goreng, misalnya, bisa tercapai.

Keberhasilan itu merupakan petunjuk bahwa program pembangunan fisik pertanian, khususnya subsektor perkebunan, telah terwujud. Namun demikian, hasil pembangunan fisik tersebut belum mengakomodasi peningkatan kesejahteraan petani maupun daya saing komoditas perkebunan kita di pasar dunia. Itu sungguh merupakan tantangan yang memerlukan solusi. Patut diakui, kebijakan dan program agribisnis yang dicanangkan Deptan sejak hulu (on farm) sampai hilir (off farm) belum didampingi langkah-langkah reformasi.

Masalah pokok yang terus membayangi usaha perkebunan ini adalah kelembagaan di tingkat makro dan operasional. Padahal mutu pembangunan perkebunan tidak lagi terletak pada program-program subsistem agribisnis, tetapi pada komitmen melaksanakan reformasi. Tapi selama lebih tiga tahun reformasi, pembangunan pertanian dan perkebunan justru tak memperoleh sentuhan kebijakan memadai dan substantif.

Reformasi memang merupakan kunci untuk mewujudkan pembangunan perkebunan ini. Untuk itu, empat aspek perlu memperoleh perhatian. Pertama, reformasi pada tingkat kebijakan makro. Paling tidak terdapat tiga departemen yang sangat terkait langsung dengan keberhasilan agribisnis ini. Proses produksi (bibit, budidaya, pengolahan primer) berada dalam penanganan Deptan. Sementara penanganan industri daur panjang atau hilir (down stream industry) di Depperindag. Lalu, komponen seperti perpajakan terkait langsung dengan Depkeu.

Ketiga departemen itu masing-masing memiliki program cukup strategis. Sayangnya, masing-masing kebijakan saling berdiri sendiri dan tidak pada merupakan sinergi. Kebijakan pasar atau perpajakan, misalnya, cenderung tidak berpihak pada pelakau usaha perkebunan.

Sekarang ini, produk perkebunan dikenai 14 jenis pungutan yang langsung menjadi beban. Sebut saja pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, cukai, pajak ekspor, restribusi air, restribusi hasil, penerangan jalan, dan lain-lain. Semua ini jelas menjadi komponen biaya produksi.

Kalau demikian, bagaimana produk kita dapat bersaing di arena internasional? Justru itu, tidak perlu kecewa saat pasar bebas AFTA, APEC, dan WTO sudah menjadi kenyataan: komoditas-komoditas perkebunan kita pasti keteteran. Itu tak hanya di pasar ekspor. Bahkan di pasar dalam negeri sendiri, komoditas perkebunan kita sulit diharapkan mampu bersaing dengan komoditas impor yang jauh lebih murah.

Gagasan tentang pengembangan cluster industry sebenarnya sangat baik. Itu terutama karena sampai saat ini ekspor komoditas perkebunan masih didominasi produk primer seperti CPO, kakao, kopi, lada, atau teh.

Namun gagasan tentang cluster industry ini jangan melupakan posisi pengusaha dan petani perkebunan selaku produsen. Sekarang ini, kebijakan tentang pajak ekspor CPO, misalnya, lebih berpihak pada industri hilir dan konsumen minyak goreng ketimbang pada pengusaha dan petani perkebunan. Akibatnya, mereka taka bisa menikmati hasil jerih-payah usaha karena harga perkebunan merosot, sementara biaya produksi membumbung tinggi.

***

Aspek kedua yang perlu mendapat perhatian adalah reformasi kelembagaan pada tingkat operasional. Saat ini pelaku agribisnis berjalan menurut kelompok usaha atau komoditas masing-masing. Mereka tidak memiliki visi dan misi saling bergantung (interdependensi).

Dalam era otonomi daerah, komoditas perkebunan sungguh memerlukan komitmen daerah agar mampu bersaing di pasar internasional. Pelaku bisnis adalah institusi yang menjembatani kebijakan makro dan regional atau antara kebijakan sektor/subsektor dan antardaerah penghasil untuk dioperasionalkan.

Kalau demikian, mengapa kita tidak belajar pada Malaysia, India, Pilipina, atau Thailand? Di negara-negara itu, komoditas seperti karet, kelapa, kelapa sawit, lada, atau teh berada dalam satu badan atau kewenangan. Atas dasar itu, Indonesia dapat membentuk Badan Komoditas yang ditangani independen pelaku bisnis bersangkutan. Di situ mereka menjabarkan dan mengoperasionalkan kebijakan pemerintah menyangkut produksi, industri, atau perdagangan. Atau, sesuai potensi komoditas, misalnya dapat saja dibentuk Badan Palma Nasional Indonesia untuk kelompok kelapa dan kelapa sawit.

Bisa juga, masing-masing komoditas membangun badan sendiri. Yang penting, program dilakukan terpadu dan profesional.

**

Ini aspek ketiga: lahan usaha pertanian. Sekarang ini lahan pertanian semakin sempit. Justru itu, reformasi di bidang pengaturan lahan sungguh merupakan kebutuhan. Lahan pertanian produktif dan potensial harus dilindungi dan bebas dari peruntukan nonpertanian. Tanpa reformasi sistematis, perubahan fungsi lahan pertanian sungguh sulit bisa dicegah. Areal tanaman tebu, yang terkonsentrasi di Jawa, misalnya, jelas menghadapi risiko tinggi: tergusur untuk kepentingan nonpertanian. Demikian pula areal tanaman tembakau. Padahal meski hanya menghampar sekitar 200.000 hektar, hasil perkebunan tembakau ini bisa menghasilkan cukai rokok sampai puluhan triliun rupiah.

Aspek keempat: perlindungan terhadap produsen atau petani perkebunan. Bercermin pada kasus cengkeh atau kelapa sawit, kebijakan yang digariskan pemerintah selama ini banyak membuat nasib petani jadi terpuruk. UU 12/1992 tentang Budidaya Tanaman, dalam konteks ini, belum dapat dioperasionalkan hingga tak efektif melindungi petani atau produsen komoditas perkebunan.

Karena itu, reformasi pengaturan menyangkut perlindungan produsen atau petani jelas sangat diperlukan. Ini tak kalah urgen dan strategis seperti perlindungan terhadap konsumen.

***

Reformasi pada tingkat kebijakan makro melalui penciptaan interdependensi industri dan perpajakan sungguh bisa diharapkan mampu menciptakan nilai tambah lebih besar terhadap sistem agribisnis ini. Sementara pajak yang sekarang ini langsung menjadi beban produk primer, seperti PBB, retribusi, PPN, atau pajak ekspor jelas merupakan faktor yang memperlemah daya saing.

Walhasil, mengharapkan peningkatan daya saing sistem agribisnis kita, jelas menyaratkan penghapusan beban-beban itu. Langkah tersebut beralasan dilakukan parsial di sektor hulu. Dengan demikian, bagi pemerintah, langkah itu bisa dikompensasi melalui pengenaan pajak terhadap produk olahan dan turunan lain yang memiliki nilai tambah tinggi. Di sisi lain, Badan Komoditas perlu dibentuk sebagai wadah profesional menghadapi tantangan globalisasi.***

* Direktur Eksekutif Yabuntara.

Comments

Popular posts from this blog

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN, PESISIR DAN PEDALAMAN

PENGANEKA-RAGAMAN PANGAN : PENGALAMAN 40 TAHUN DAN TANTANGAN KE DEPAN

Proyeksi Agribisnis 2011