BAGAIMANA MEREBUT KEJAYAAN AGRIBISNIS INDONESIA

Di tengah kekhawatiran dunia akan pasok bahan pangan masa depan, Indonesia yang beruntung memiliki kekayaan alam berupa lahan, pantai, dan lautan yang luas belum berhasil membangun basis agrobisnis yang kuat. Apa yang harus dilakukan pemerintah dan kalangan bisnis agar potensi luar biasa ini menjadi daya saing kuat ekonomi? Bagaimana agar peluang besar ini tak diserobot pemain asing yang makin intens mengincarnya?

Bisnis komoditas pangan sampai kapan pun tetap menggiurkan, terlebih dalam beberapa tahun terakhir ketika masyarakat dunia mulai terpikat pada bioenergi sebagai alternatif pengganti minyak bumi. Konversi komoditas pangan menjadi bioenergi langsung menaikkan kebutuhan bahan pangan dalam jumlah besar. Peluang ini telah diantisipasi pengusaha agrobisnis dari pelbagai belahan dunia. Mereka berlomba menaikkan produksi baik melalui intensifikasi maupun dengan menambah areal tanam. Fenomena ini juga terlihat di Indonesia. Para konglomerat agrobisnis makin getol membuka lahan-lahan baru kelapa sawit – salah satu komoditas multifungsi yang bisa diproses menjadi bahan makanan, industri kosmetik dan bioenergi. Bahkan, beberapa konglomerat yang sebelumnya jarang bersentuhan dengan industri agro kini ramai-ramai mengarahkan investasinya ke perkebunan kelapa sawit. Calon raja-raja kelapa sawit baru itu, misalnya, Putera Sampoerna, T.P. Rahmat, Chairul Tanjung, Hashim Djoyohadikusumo dan Peter Sondakh.

Berlomba mengamankan pasokan pangan masa depan, itulah tampaknya yang sedang terjadi. Cina, yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia sementara lahan pertaniannya banyak terkonversi menjadi areal industri, tengah membangun basis pertanian kuat dan modern di Afrika (lihat “Menggenjot Agrobisnis, Mengamankan Masa Depan”, Sajian Utama bagian berikutnya). Sementara itu, encik-encik tajir dari Malaysia juga makin mengokohkan cengkeramannya di bisnis kelapa sawit Indonesia. Para pengusaha dari negeri jiran itu masuk melalui beberapa cara seperti investasi langsung, mekanisme pasar modal, dan private placement terhadap perusahaan agrobisnis di Indonesia yang perlu suntikan modal. Meski belum ada data resmi berapa kepemilikan lahan kelapa sawit pengusaha Malaysia di Indonesia, para pelaku industri sawit meyakininya cukup signifikan. Prof. Dr. Ahmad Anshori Mattjik, MSc., misalnya -- mantan Rektor Institut Pertanian Bogor yang aktif mengamati industri kelapa sawit -- memperkirakan luas lahan kelapa sawit Malaysia bisa mencapai 30% dari total lahan sawit di Indonesia.

Pemerintah Thailand yang memiliki komitmen kuat terhadap pengembangan bisnis agro -- dan mampu menimba devisa besar dari ekspor hortikultura seperti durian, mangga dan pepaya -- juga makin rajin memfasilitasi pengusahanya mencari tujuan ekspor baru. Di luar itu, para konglomerat agro Thailand juga makin agresif berekspansi ke luar negeri. Simak kiprah Charoen Pokphand. Setelah sukses mengembangkan peternakan ayam terintegrasi dan menjadi pemimpin pasar di bisnis perunggasan dan pakan ternak di Indonesia, Charoen mengambil alih kepemilikan PT Dipasena yang mempunyai areal tambak udang terbesar di Asia Tenggara. Kini pertambakan udang yang berlokasi di Lampung itu dikelola secara modern dan dijadikan basis produksi Charoen untuk ekspor ke mancanegara.

Bagaimana mungkin dunia luar tak terpikat kepada Indonesia. Hampir semua komoditas pangan penting ada di sini dan bisa diproduksi dalam skala besar untuk mendukung industri. Sebagai misal, saat ini tren dunia mengarah ke gaya hidup sehat yang memerlukan makanan sehat. Nah, di Indonesia tersedia peluang membangun pabrik makanan sehat dari bahan rumput laut yang bisa dibudidayakan di sepanjang pantai Nusantara. Atau, mau meniru Amway menjadi raja multivitamin dunia dari ekstrak buah-buahan dan sayuran juga bisa karena di sini tersedia banyak jenis sayuran dan buah tropis yang mengandung banyak vitamin. Boleh juga Anda membangun industri herbal dan fitofarmaka karena kita punya aneka jenis tanaman obat yang mudah dibudidayakan dalam jumlah besar.

Pendek kata, apa pun bisnis berbasis agro yang Anda inginkan, apakah itu di bidang makanan, kosmetik, obat-obatan, multivitamin ataupun bioenergi, potensinya ada di Indonesia. Adapun komoditas pangan yang menjadi kekuatan Indonesia yang siap diproses menjadi produk siap konsumsi antara lain meliputi kelapa sawit, kopi, cokelat, lada, teh, rumput laut, sagu, sayuran dan buah-buahan tropis, tanaman obat, serta beberapa tanaman lain yang bisa diproses menjadi bioenergi seperti singkong dan jarak. Selain itu, kita juga memiliki hasil laut yang masih bisa terus dioptimalkan, demikian juga dengan hasil peternakan seperti susu dan daging.

Selama ini pelbagai komoditas tadi masih diekspor dalam bentuk bahan mentah atau setengah jadi sehingga nilai tambah besar justru dinikmati pabrikan di luar negeri yang memprosesnya menjadi produk siap konsumsi.

Membentengi asing untuk masuk tentu sulit karena dalam ekonomi yang sudah terbuka ini tersedia banyak pintu. Jalan yang bisa kita tempuh adalah memperkuat barisan dalam negeri, baik di bidang penanaman maupun industri pengolahannya. Kalau Pemerintah Thailand bisa menggerakkan rakyatnya untuk menanam buah-buahan unggul yang bisa mengalirkan banyak devisa, kita mestinya tak perlu malu memulainya. Kalau Cina yang kehabisan lahan terpaksa membangun basis agrobisnis di Afrika, kita bisa melakukannya di banyak provinsi di luar Jawa. Kalau Amway atau Starbucks bisa mendunia dan kaya raya karena menikmati nilai tambah tinggi dari komoditas agro, kita harus cepat-cepat belajar dari mereka.

Dalam 10 tahun terakhir industri pengolahan komoditas pangan di Indonesia berkembang cukup pesat. Di bidang makanan dan minuman, kita antara lain memiliki Ultra Jaya, Mayora, Kapal Api, Indocafe, Garudafood, Dua Kelinci, Indofood, ABC Food, Sosro, Ceres, Agar-agar Swallow, Kokita, Grup Sekar, Sosro dan Great Giant Pineapple. Di bidang minyak goreng ada pabrik Bimoli, Filma, Sania, dan masih banyak lagi. Begitu juga di bidang jamu dan herbal, perkembangannya cukup menggembirakan. Namun kalau ditotal, output industri pengolahan yang mereka hasilkan baru 30% dari total PDB sektor agrobisnis pangan yang mencapai sekitar Rp 900 triliun tahun 2007. Data ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih memerlukan ratusan hingga ribuan entrepreneur baru di bidang pengolahan pangan agar nilai tambah yang masuk ke Indonesia semakin besar.

Pemberlakuan Undang-undang Otonomi Daerah, di mana kepala daerah punya otoritas tinggi dalam mengembangkan daerahnya, sebetulnya punya arti penting dalam memajukan agrobisnis di Indonesia. Sebagai kepala daerah yang tahu persis potensi wilayahnya, mereka bisa menentukan jenis agrobisnis apa yang cocok. Langkah berikutnya tinggal mengadopsi strategi Raja dan Pemerintah Thailand yang membagikan bibit unggul ke masyarakat, mengadakan kontes hasil untuk memacu semangat petani, hingga memfasilitasi petaninya dalam memasarkan hasil. Konsep seperti ini kurang-lebih sudah diterapkan Fadel Muhammad saat memimpin Gorontalo dan menjadikan provinsi baru sempalan dari Sulawesi Utara itu sebagai penghasil dan eksportir jagung yang diperhitungkan.

Jika tiap kepala daerah dapat memilih potensi agrobisnis yang pas untuk wilayahnya, di Indonesia akan ada banyak sentra – misalnya Gorontalo sebagai sentra jagung, Pontianak sentra jeruk dan buah-buahan, Jawa Tengah sentra tanaman obat dan hortikultura, Papaua sentra sagu, Nusa Tenggara Timur sentra jarak, dan seterusnya. Dengan bimbingan dan perlindungan dari kepala daerah yang progresif, petani akan makin bersemangat karena untung. Jika ini bisa diwujudkan, kejayaan di sektor agrobisnis yang selama ini kita impikan akan menjadi kenyataan. Mari kita semangati Pak dan Bu Gubernur serta Pak dan Bu Bupati agar berlomba di industri agro. ***

Comments

Popular posts from this blog

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN, PESISIR DAN PEDALAMAN

PENGANEKA-RAGAMAN PANGAN : PENGALAMAN 40 TAHUN DAN TANTANGAN KE DEPAN

Proyeksi Agribisnis 2011