Proyeksi Agribisnis 2011

Cuaca tak menentu, tahun depan, produksi beras dan kelapa sawit bakal tumbuh tipis

Tahun ini, produksi beberapa komoditas agribisnis – seperti beras dan kelapa sawit – cenderung tertekan akibat cuaca yang sulit diprediksi. Kondisi ini mungkin tidak akan berbeda pada tahun depan. Meskipun produksi belum pulih, komoditas ini masih terbantu oleh harga yang cenderung terus naik.

Menghadapi tahun depan, masih ada kekhawatiran bahwa cuaca tak bisa diprediksi. Kinerja produksi beberapa komoditas pun belum tentu pulih. Tapi, beberapa komoditas pertanian diyakini bakal tetap bertahan, bahkan boleh jadi bisa tumbuh.

Ada dua komoditas pokok yang cukup menentukan sektor agribisnis saat ini. Yakni, beras dan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Keduanya menjadi sorotan lantaran punya peranan vital. Produksi beras jelas menjadi salah satu ukuran ketahanan pangan negeri ini. Sedangkan CPO menjadi salah satu andalan ekspor dan mendatangkan devisa negara.

Mari kita ulas satu per satu dua komoditas ini.

Beras

Tampaknya, iklim menjadi biang gagalnya swasembada beras tahun ini. Lantaran produksi tak cukup memenuhi kebutuhan, pemerintah harus mengimpor beras. Hingga akhir tahun, volume impor beras bisa mencapai 850.000 ton, sebagian besar didatangkan dari Vietnam.

Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso bilang, harga beli pemerintah untuk beras impor itu di kisaran Rp 5.000 per kilogram (kg). Artinya, pemerintah harus menganggarkan sampai Rp 4,25 miliar untuk menjaga kecukupan beras dalam negeri hingga panen tahun depan. Total konsumsi beras dalam negeri sekitar 2,7 juta–2,8 juta ton per bulan dengan asumsi konsumsi 139 kilogram (kg) beras per kapita per tahun.

Jika tak ada kendala, panen raya tahun depan akan terjadi pada Februari atau Maret. "Namun, musim tidak bisa diprediksi," ujar Sutarto.

Kendala ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2009, sehingga waktu tanam mundur. Selain itu, tidak stabilnya musim dan cuaca menyebabkan hama ?wereng cokelat merajalela.

Kondisi ini menyebabkan produksi tahun ini tidak mencukupi. Padahal, pada periode 2008–2009, pertumbuhan produksi beras bisa sebesar 6,7%. Setahun sebelumnya, pertumbuhannya bisa sebesar 5,4%; dan tahun 2007 dibandingkan dengan 2006 sebesar 4,96%.

Untuk tahun ini, Sutarto memprediksi pertumbuhan produksi beras hanya sekitar 2,46%. Meski begitu, angka ini lebih baik dari prediksi pertengahan tahun ini yang masih sekitar 1,7%. "Prediksi semula muncul lantaran isu La Nina bakal kembali mengunjungi wilayah kita," bebernya.

Melihat potret produksi beras tahun ini, Sutarto memperkirakan, tahun depan, pertumbuhan produksi hanya sekitar 1,5% saja. "Dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 1,49% tahun depan, selisihnya tak terlampau jauh," ujarnya.

Kelapa Sawit

Tak berbeda dengan beras, potret industri kelapa sawit tahun ini juga tak terlampau bersinar. Cuaca yang susah diprediksi membuat produksi kelapa sawit tak terlampau bagus. Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsya bilang, kondisi tanaman kelapa sawit yang sudah tua juga menjadi penyumbang merosotnya produktivitas di perkebunan rakyat.

Asmar menjelaskan, dari total lahan kelapa sawit nasional yang sebesar 7,8 juta hektare (ha), 3,8 juta ha disumbang oleh perkebunan sawit milik rakyat. Sisanya dari perkebunan milik pemerintah dan swasta.

Melihat kondisinya, target pemerintah mematok produksi 40 juta ton CPO di tahun 2020 bisa saja meleset. Asmar memprediksi, tahun depan produksi kelapa sawit dalam negeri bakal merosot 15%. Jika kondisi cuaca tidak seburuk tahun ini, perkiraan paling moderat, produksinya akan merosot 10%.

Meski begitu, harga jual tandan buah segar (TBS) dan CPO relatif masih bagus. Bulan ini, rata-rata harga jual TBS di tingkat petani sebesar Rp 1.300 per kg. Meski masih lebih rendah dibanding bulan lalu yang sempat menyentuh Rp 1.600 per kg, harga ini sudah bagus dan bisa menutup ongkos produksi.

Tahun depan, Asmar memprediksi harga TBS akan kembali terkerek naik seiring kenaikan harga CPO. Saat ini, patokan harga satu kg CPO setara dengan harga empat kg TBS.

Asmar memperkirakan, tahun ini, produksi CPO dalam negeri mencapai 20 juta–21 juta ton. Dari jumlah itu, hanya sekitar 6 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri. Kecilnya serapan CPO dalam negeri ini lantaran industri kurang tertarik menggarap produk hilir mengingat minimnya insentif maupun tax holiday.

Kondisi ini juga bakal makin parah jika pemerintah jadi menurunkan bea keluar CPO, dan menaikkan biaya industri dalam negeri. "Ini tidak bagus dan tidak akan merangsang pertumbuhan industri dalam negeri," tandas Asmar.

Pengamat agribisnis F. Ra-hardi melihat ada sejumlah kendala, seperti ketimpangan biaya menanam dan merawat (on farm) serta biaya transportasi dan keamanan (off farm) yang kian mahal. Meski begitu, ia yakin, tahun depan produksi CPO masih bagus. "Kita sudah melewati Malaysia dan tidak terbendung lagi," katanya.

SOURCE : http://proyeksi.kontan.co.id/v2/read/agribisnis/51/Volume-Tak-Beranjak-Harga-Bisa-Menanjak

Comments

Popular posts from this blog

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN, PESISIR DAN PEDALAMAN

PENGANEKA-RAGAMAN PANGAN : PENGALAMAN 40 TAHUN DAN TANTANGAN KE DEPAN